surabaya readers club

Sunday, April 29, 2007

Tulip-tulip indah, semenawan istriku tercinta Rosalia Damayanti dan anakku tersayang, Reza Maulana Hikam. Tulip-tulip ini mengungkapkan perasaan ketika jauh dari keluarga, tapi mereka selalu dekat di hati dan melekat di sanubari. Tulip-tulip yang indah, tak pernah bosan mata memandang, seperti keindahan dari cinta-kasih untuk keluargaku di kota Surabaya.
Posted by Picasa

Saturday, April 28, 2007

Tulip-Tulip Keukenhof

Indah menawan, tulip-tulip Keukenhof pada 27 April 2007.
Posted by Picasa

Tulip-Tulip Keukenhof

28 April 2007, tulip-tulip Keukenhof bermekaran menyambut para tamu yang berdatangan. Tulip-tulip indah berwarna-warni...

Friday, April 13, 2007

Remembering PSP

Pancaran Sinar Petromaks (PSP) was a famous band in the '80s through their satiric songs on daily activities. I like those songs very much regardless its lyrics, it is very inspirational and it supports my daily activities, the horizont of ideas become wider. I remembered the first time listened those music when I was at 12 years old in Pasuruan, a city 70 kilometres away from Surabaya. Despite a young pupil of secondary school, I was always eager to listen adult music and for me, PSP songs was a sort of adult music with unique lyrics.

Sunday, April 08, 2007

Jalan Panjang Noordeinde


Menyeberangi sungai di depan Institute of Social Studies (ISS), segera saja tampak sebuah jalan panjang ber-paving, jalan Noordeinde. Jalan yang disebelah kanan dan kiri terlihat banyak toko yang menjual aneka asoseris. Menelusuri jalan ini, maka akan sampai ke bagian samping dari istana Ratu Beatrix, sang monarki dari Belanda.

Toko-toko buku berjajar, ada toko buku digabung dengan ruang pameran, ada toko buku bekas bersejarah dan ada pula Jongbloed Boekhandel. Ah, buku-buku itu menarik untuk dibeli, tapi sayang ditulis dalam bahasa Belanda. Jadi, masih butuh waktu untuk bisa lancar membacanya.

Jalan masih panjang, sampai memasuki gang besar, lalu sampailah di Centrum, pusat aktivitas masyarakat Belanda. Ada penjual es krim, penjual koran, penjual pakaian dan toko aneka sandang, tidak lupa MediaMart, tempat alat elektronik yang menjadi tujuan banyak orang.

Politik Adu Domba - Eka - Eki

Bermula dari peristiwa tarung antara para pendukung Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) dengan Kelompok Front Pembela Islam (FPI) pada dua minggu silam, lalu bergulirlah wacana 'kebangkitan komunis gaya baru'. Wacana ini sudah lama berada dalam benak para pendukung FPI dan grup-grup se-afiliasi.

Bisa diduga, pembelaan pun meluncur ke Papernas, utamanya dari mereka yang menamakan diri sebagai kelompok pro-demokrasi (Pro-Dem). Mereka yang mengklaim sebagai pro-dem ini merupakan campuran dari kelompok abangan dan kelompok Islam tradisional, yang baru belajar soal gerakan wacana. Memang, agak mengherankan juga, aparat kepolisian seharusnya tahu, bahwa akan terjadi bentrok antara Papernas dan FPI tersebut. Mustahil, jika aparat intelijen kepolisian tidak mengendus hal itu.

Apalagi, beberapa hari sebelumnya, pihak Papernas sudah melayangkan surat untuk meminta ijin berdemontrasi. Andaikata, intelijen kepolisian sedikit jeli dan tanggap mengendus apa yang sedang terjadi di bawah permukaan, maka besar kemungkinan bentrok antara Papernas dan FPI akan bisa diatasi. Inilah salah-satu kelemahan daya endus intelijen kepolisian, yang sudah lebih dari lima tahun dibebaskan dari kungkungan militer. Semestinya, mereka bisa lebih cepat mengantisipasi keadaan melalui analisa yang tajam dan tahap demi tahap pengamanan situasi. Jika dikatakan, aparat kepolisian memiliki personil terbatas, maka alasan semacam ini jelas tidak masuk akal mengingat kucuran anggaran untuk kepolisian sangat besar, baik dari APBN maupun dari bantuan luarnegeri.

Dilain pihak, muncul dugaan kuat, aparat kepolisian memang sengaja membiarkan Papernas bertemu dengan Polri. Tujuannya, untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari demo anti-kebijakan RI yang mendukung resolusi 1747 terhadap Iran. Pada hari yang sama, para aktivis muslim, terutama dari aliran Syiah, juga menggelar demo menentang kebijakan luarnegeri Indonesia yang dinilai tidak mencerminkan politik bebas-aktif itu. Jika dugaan ini benar adanya, maka sesungguhnya, aparat kepolisian tengah memainkan situasi mirip dengan taktik Orde Baru, yang menghembuskan kecurigaan ekstrem kiri dan ekstrem kanan.

Taktik itu jelas sudah kadaluwarsa, mengingat situasi sudah berubah. Bahkan sudah terlihat adanya upaya rekonsiliasi antara putra-putri para petinggi CC PKI dan Masyumi dengan putra-putri para jenderal yang terbunuh pada peristiwa G30S. Apa yang dicontohkan para generasi baru ini setidaknya menjadi titik awal bagi aparat kepolisian untuk merumuskan langkah-langkah baru dalam mengantisipasi setiap gejolak sosial dan mengendus sedini mungkin potensi gejolak sosial. Jika tidak, maka taktik lama tidak akan membawa kesuksesan bagi Polri dalam bekerja.

Saturday, April 07, 2007

Sejenak di Leiden


Hanya sejenak di Leiden dan suasana terasa berbeda.

Sekelumit Kisah dari Leiden

Leiden, kota kecil, hanya dalam waktu 15 menit dengan kereta dari Den Haag Central Station, adalah kota yang banyak menyimpan kenangan masa lalu dengan Indonesia. Kota tempat kelahiran pelukis Rembrandt itu merupakan tempat dimana Universitas Leiden berada. Sebuah universitas yang sangat diidamkan oleh banyak para sarjana dan akademisi di Indonesia.

Begitu tiba di stasiun Leiden Central, segera saja mata tertuju kepada sejumlah toko-toko dibagian bawah stasiun, yang berjajar rapi dan menjual aneka makanan serta bunga dan kebutuhan turis lainnya. Keluar dari stasiun, segera pula mata tertuju kepada bus-bus yang menunggu penumpang disebelah kanan. Sangat terlihat, bagaimana model jaringan transporatsi itu dibangun oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Bagi para pengunjung yang ingin melanjutkan perjalanan ke daerah-daerah di kawasan sekitar Leiden, barangkali bisa langsung menuju ke terminal bis yang tak jauh dari stasiun Leiden tersebut.

Dari stasiun ini pula, kita bisa berjalan kaki menuju ke Liden Medical University (LMU). Banyak para dokter di Indonesia yang melanjutkan studi spesialisasi di LMU tersebut. Dan disebelah kiri, agak jauh sedikit dari LMU, kita bisa menemukan fakultas sosial-politik Universitas Leiden. Lambang Universitas Leiden sudah bisa terlihat dari jarak yang cukup jauh, ketika kaki melangkah menuju ke fakultas tersebut. Memasuki ruang demi ruang dari fakultas itu, maka terlihat sekali bagaimana semangat akademis terbangun, tampak air mancur 'ajaib' berada dibagian tengah dari ruang utama.

Mendengar nama Leiden, banyak orang akan teringat nama-nama sarjana terkemuka tentang Indonesia. Leiden Universiteit memang menjadi kampus yang kondang karena kajian-kajiannya tentang Indonesia, bahkan kajian-kajian itu sudah sampai pada taraf paling mikro. Semisal, kajian tentang perkembangan masyarakat Makassar, masyarakat Bali dan semacamnya. Kajian itu merupakan bagian dari pengetahuan multi-disiplin yang banyak bertumpu pada sejarah. Salah-satu tokoh penting dalam kajian-kajian itu adalah Snouck Hurgronje dan van Vollenhoven. Keduanya merupakan penggagas 'Hukum Adat', yang kemudian masih dipelajari di tanah-air.

Oleh karena itu, wajar saja jika 'Hukum Adat' dikatakan sebagai warisan kolonial Belanda, yang ingin memisahkan perspektif adat nusantara dari berbagai agama yang dianut penduduk di Indonesia. Para pelanjut Mazhab Hurgronje dan van Vollenhoven itu kini terus bercokol di kampus-kampus disenatero nusantara. Padahal, jika dipikir-pikir, dalam konteks perkembangan Indonesia di masa depan, kadang aku berpikir, untuk apa Hukum Adat itu? Sebagian pengajar Hukum Adat berdalih, bahwa untuk mengetahui cara berpikir masyarakat lokal, maka harus diketahui bagaimana struktur Hukum Adat-nya. Tapi, bukankah, dalam konteks Hukum Positif di Indonesia, tidak boleh ada keaneka-ragaman wajah Hukum?

Kembali ke Leiden. Kota ini mulai berkembang dengan memanfaatkan semua atribut dan logo dari universitas. Aneka merchandise dijual disebuah toko kecil disudut bagian dari Leiden Universiteit. Konon, setelah Bologna Process ditetapkan pada tahun 2001, pemerintah Kerajaan Belanda kemudian bertekad menjadikan Universitas Leiden setara dengan Harvard University di AS.

Salju di Den Haag


Musim Salju sudah berlalu, kini memasuki musim semi, tapi Den haag masih tetap terasa dingin membeku. Hari-hari mendatang, perkuliahan di Institute of Social Studies (ISS) sudah memasuki masa riset. Rekan-rekanku saat ini juga sedang mempersiapkan desain riset untuk tugas akhir dalam program MA. Banyak topik yang diangkat dari perngalaman negara berkembang dalam menghadapi keseharian dan berbagai kebijakan.

Aku sendiri tertarik dengan masalah-masalah terkait governance (tata pemerintahan). Alasannya sederhana saja, bahwa setelah reformasi 1998, dan pemerintah pusat mengeluarkan UU Pemerintahan yang baru, yakni Undang-Undang Pemerintah Daerah 1999, yang kemudian direvisi dengan UU 2004, maka praktis sejak saat itu pula, masyarakat Indonesia memasuki era transisi ke desentralisasi. Kekuasaan pusat tidak lagi dominan dalam menentukan masa depan daerah. Pemerintah pusat hanya menyediakan perangkat perundangan dan aneka regulatory framework lain, tapi untuk penentuan desain dan kebijakan daerah, sepenuhnya kini berada di tangan birokrasi daerah.

Walau prinsip desentralisasi ini dicurigai merupakan desakan Bank Dunia dan IMF, namun pada kenyataannya, masyarakat daerah sudah lama ingin ikut dalam proses partisipasi dan medorong transparansi kebijakan pemerintah daerah dan legislatif kepada publik. Oleh karena itu, wajar jika kemudian keinginan masyarakat di daerah itu terwadahi oleh aturan perundangan yang baru, usai reformasi 1998..

Wednesday, February 22, 2006

Books for Enlighting

The club has been established in 2000, in the aftermath 1998 reformation movement in Indonesia. Members of the club are from various background, by leaps and bounds, the enormous numbers are growing quickly. They are lecturers, business persons, young intellectuals and student activist, that are mostly concerned to encourage themselves as public rights defender to struggle via a vis the state. We have a commitment to achieve people who live in poverty to read the book, journals or other medias, so that we usually ask for journalist and researcher to be a honourable member.
In short, the club dedicated to people who concerned about their future in the Indonesia enlightenment.........

Books for Enlighting

The club has been established in 2000, in the aftermath 1998 reformation movement in Indonesia. Members of the club are from various background, by leaps and bounds, the enormous numbers are growing quickly. They are lecturers, business persons, young intellectuals and student activist, that are mostly concerned to encourage themselves as public rights defender to struggle via a vis the state. We have a commitment to achieve people who live in poverty to read the book, journals or other medias, so that we usually ask for journalist and researcher to be a honourable member.
In short, the club dedicated to people who concerned about their future in the Indonesia enlightenment.........